JAKARTA – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat, ada transaksi keuangan yang melibatkan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dengan perusahaan milik pendiri ACT. Berdasarkan database PPATK, perputaran uang di ACT per tahunnya sangat besar mencapai Rp 1 triliun.
“Nilainya memang luar biasa besar ya. Jadi sekitar Rp1 triliunan. Termasuk dana keluar-masuk itu per tahun itu perputaran sekitar Rp 1 triliun. Jadi bisa dibayangkan itu memang banyak,” kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana kepada wartawan dalam konferensi pers, Rabu (6/7).
Dalam penelusuran transaksi keuangan itu, pihaknya menemukan bahwa ACT berafiliasi dengan sejumlah perusahaan. Dan perusahaan tersebut adalah milik pendiri Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT).
”PPATK juga mendalami terkait dengan bagaimana struktur entitas tadi atau kepemilikan yayasan dan bagaimana mengelola pendanaan dan segala macam. PPATK melihat bahwa entitas yang kita lagi bicarakan ini itu terkait dengan beberapa usaha yang dimiliki langsung oleh pendirinya,” jelasnya seperti dikutip PojokSatu (Jawa Pos Group), Kamis (7/7).
Sayangnya, Ivan tak merinci berapa jumlah persis perusahaan milik pendiri ACT yang berafiliasi dengan ACT. Namun itu memastikan bahwa perusahaan-perusahaan dimaksud berbentuk perseroan terbatas (PT).
“Ada beberapa PT di situ, itu dimiliki langsung oleh pendirinya dan pendirinya termasuk orang yang terafiliasi karena menjadi salah satu pengurus,” bebernya.
Yang cukup mengejutkan, PPATK juga menemukan sebuah kasus yang melibatkan salah satu entitas perusahaan milik pendiri ACT dengan nilai Rp 30 miliar. “Kami menemukan ada transaksi lebih dari dua tahun senilai Rp 30 miliar yang ternyata transaksi itu berputar antara pemilik perusahaan yang notabene juga salah satu pendiri yayasan ACT,” beber Ivan.
Ivan juga mengungkap bahwa Aksi Cepat Tanggap (ACT) selama ini tidak langsung menyalurkan donasi yang dikumpulkan dari masyarakat kepada mereka yang berhak dan membutuhkan. Akan tetapi, lebih dulu dikelola dan dikembangkan menjadi bisnis yang memberikan keuntungan bagi ACT.
“Ada transaksi memang yang dilakukan secara masif. Tapi terkait dengan entitas yang dimiliki oleh si pengurus tadi. Jadi kita menduga ini merupakan transaksi yang dikelola business to business,” ungkap Ivan.
Dana sumbangan dan donasi itu dikelola ACT untuk dijadikan investasi bisnis yang mendatangkan keuntungan bagi Aksi Cepat Tanggap (ACT).
”Jadi tidak murni penerima menghimpun dana kemudian disalurkan (kepada yang berhak). Tapi dikelola dulu di dalam bisnis tertentu dan di situ tentunya ada revenue, ada keuntungan,” pungkasnya.
Sementara itu, Kementerian Sosial (Kemensos) mencabut izin Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Keputusan itu diambil setelah ditemukan indikasi pelanggaran aturan sebagai penyelenggara pengumpulan uang dan barang (PUB).
Pengumuman pencabutan izin ACT itu disampaikan Mensos ad interim Muhadjir Effendy di Jakarta Rabu (6/7). ”Pelanggaran terhadap peraturan menteri sosial,” katanya. Mantan Mendikbud itu menyatakan, Kemensos masih menunggu hasil pemeriksaan dari Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemensos soal ketentuan sanksi lebih lanjut.
Kemensos juga akan menyisir izin-izin serupa yang diberikan kepada lembaga sejenis. Tujuannya, memberikan efek jera.
Sebelum memutuskan pencabutan izin itu, Kemensos sudah mengundang Yayasan ACT pada Selasa (5/7). Dalam kesempatan itu, Presiden ACT Ibnu Khajar dan pengurus lainnya hadir untuk memberikan klarifikasi. Khususnya soal penggunaan dana yang mereka kumpulkan untuk kegiatan operasional Yayasan ACT. Termasuk untuk gaji dan fasilitas mewah para petingginya.
Untuk kegiatan pengumpulan sumbangan atau sejenisnya, ada rujukan di Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Bunyi ketentuannya adalah pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10 persen dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan.
Hasil klarifikasi Kemensos terhadap Yayasan ACT, Ibnu Khajar mengatakan bahwa pihaknya rata-rata menggunakan 13,7 persen dari hasil pengumpulan uang atau barang dari masyarakat sebagai biaya operasional yayasan. Menurut Kemensos, persentase itu tidak sesuai dengan batasan maksimal 10 persen pada PP 29/1980 tadi. Bahkan, untuk PUB kegiatan bencana, seluruhnya harus disalurkan kepada masyarakat. Tidak boleh ada pemotongan untuk biaya operasional yayasan.
Pimpinan ACT langsung merespons keputusan pencabutan izin dari Kemensos tersebut. Ibnu Khajar mengatakan, pihaknya terkejut atas keputusan pencabutan izin tersebut. ”Kami telah menunjukkan sikap kooperatif (dengan mendatangi Kemensos untuk klarifikasi, Red),” ujarnya di kantor ACT kemarin sore. Dia juga menjelaskan, ACT sudah menyiapkan data pengelolaan keuangan yang diminta Kemensos.
Dalam kesempatan yang sama, tim legal Yayasan ACT Andri T.K. menilai keputusan pencabutan izin yang diambil Kemensos terlalu reaktif. Dalam Permensos 8/2021 tentang PUB, ada skema atau tahapan penjatuhan sanksi. Mulai sanksi teguran tertulis, penangguhan izin, hingga yang paling akhir adalah pencabutan izin. Dia menyatakan, sampai saat ini Yayasan ACT belum pernah mendapat sanksi teguran tertulis.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah memblokir transaksi 60 rekening atas nama Yayasan ACT kemarin. Puluhan rekening itu tercatat di 33 penyedia jasa keuangan atau lembaga perbankan. Pemblokiran tersebut merupakan tindak lanjut hasil kajian PPATK terkait dengan ACT.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkapkan, pihaknya telah menemukan indikasi bahwa kegiatan pengumpulan dana oleh ACT tidak dilakukan secara akuntabel. Itu tergambar dari sporadisnya perputaran uang di lembaga filantropi tersebut. Padahal, organisasi masyarakat (ormas) yang melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran sumbangan harus mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Prinsip itu diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pemberian Sumbangan oleh Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dalam Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT). Perpres tersebut mengisyaratkan badan penghimpun dana wajib mengidentifikasi pemberi dan penerima sumbangan.
Nah, hasil penelusuran PPATK, dana yang dihimpun ACT tidak semata-mata disalurkan kepada penerima sumbangan. Tapi juga dikelola untuk kegiatan bisnis tertentu. Tentu saja bisnis itu berorientasi profit atau menghasilkan keuntungan. ”Ada lapisan (bidang usaha) yang terkait dengan investasi. Ini transaksi yang dikelola dari bisnis ke bisnis,” ungkap Ivan.
Mirisnya, transaksi bisnis ke bisnis tersebut terafiliasi dengan perusahaan yang dimiliki pengurus Yayasan ACT. Menurut Ivan, ada satu entitas perusahaan milik pendiri yang melakukan transaksi dengan ACT hingga Rp 30 miliar dalam kurun waktu dua tahun. ”Itu (bidang usaha) dimiliki langsung oleh pendirinya,” jelasnya.
Kajian database PPATK sejauh ini melihat bahwa perputaran uang di ACT mencapai Rp 1 triliun. Berdasar laporan periode 2014–2022, ada 10 negara paling besar yang masuk lingkaran transaksi tersebut. Baik sebagai pemberi maupun penerima dana. Yakni, Jepang, Turki, Inggris, Malaysia, Singapura, Amerika, Jerman, Hongkong, Australia, dan Belanda.
”Angkanya paling tinggi sekitar Rp 20 miliar. Itu terkait negara. Tapi, di sini kita tidak bicara ada (transaksi) yang salah,” jelasnya. PPATK melihat transaksi dari dan ke luar negeri itu sangat mungkin masih berkaitan dengan aktivitas ACT di luar negeri. Misalnya, terkait dengan penyaluran bantuan untuk korban kemanusiaan di beberapa negara.
Namun, PPATK tidak memungkiri bahwa ada beberapa transaksi ACT yang diduga terkait dengan aktivitas terlarang di luar negeri. Baik transaksi secara langsung maupun tidak. Di antara beberapa nama yang dikaji PPATK, muncul satu penerima dana ACT yang pernah ditangkap kepolisian Turki karena terafiliasi dengan jaringan organisasi teroris Al Qaeda.
”Tapi (aliran dana ke partisipan Al Qaeda, Red) masih dalam kajian lebih lanjut. Apakah memang ditujukan untuk aktivitas lain (selain sumbangan, Red) atau secara kebetulan,” terang Ivan. Terkait hal tersebut, PPATK sudah mengirimkan analisisnya kepada aparat penegak hukum. (wan/tyo/c19/cak/jpg)