Pandemi mendera melumpuhkan semua lini lebih dari setahun ini. Namun di balik itu, sektor pertanian menjadi pendorong pemulihan ekonomi, terutama komoditi kelapa sawit yang menjadi penyelamat ribuan keluarga di Kalimantan Tengah yang menjadi binaan dan juga mitra kerja grup usaha PT. Astra Agro Lestari Tbk.
SLAMET HARMOKO, Pangkalan Bun
Program Income Generating Activity (IGA) dan turunannya mampu menyelamatkan sedikitnya 2.116 petani untuk lebih mandiri dan melepaskan diri dari cengkeraman efek pandemi yang secara hakiki belum sepenuhnya mampu teratasi.
Ribuan keluarga peserta program IGA mendapatkan bibit kelapa sawit, sarana produksi pertanian, dan modal kerja untuk menggarap lahan seluas 5.473 hektare. Pinjaman tanpa bunga itu baru dikembalikan setelah masa panen tiba dan kini sebagian besar mereka telah memetik hasilnya.
Salah satunya keluarga Muhammad Aini, kakek berusia 64 tahun ini. Diusia yang tak lagi muda dan dengan tekanan ekonomi yang tak lagi ramah, kini ia merasakan semua kebutuhannya bisa tercukupi. Ia merasa terselamatkan karena mengikuti program IGA di akhir 2007 silam.
Sambil tak hentinya bersyukur, ia menceritakan bahwa telah mampu memberikan penghidupan layak bagi istri dan anak-anaknya. Dirinya bahkan tak khawatir lagi kehidupan keluarganya bila sewaktu-waktu dipanggil sang pencipta.
“Dulu saya ini peladang berpindah, pekerjaan lainnya hanya sebagai buruh penebas (pembersih) ladang warga dengan hasil pas-pasan. Sekarang Alhamdulillah, Allah memberi jalan dan semua berkecukupan,” ujarnya.
Menjadi kepala keluarga dan satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga membuatnya harus pontang-panting mencari rezeki. Puncaknya dia awal tahun 2007 kondisi keluarga makin runyam, dengan kebutuhan keluarga makin tinggi sedangkan dari sisi pemasukan tetap tak menentu.
Saat itu selain istri, masih ada sembilan dari tiga belas anaknya yang harus dijamin kehidupan dan masa depannya. Suami Jah Ratiana ini tak patah arang.
Akhir 2007 ia mulai berkenalan dengan kelapa sawit, saat itu pula ia memutuskan berhenti menjalankan ladang berpindah dan menetap di RT 15 Desa Amin Jaya, Kecamatan Pangkalan Banteng, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalteng.
Sempat tak pede menjadi petani kelapa sawit, meski saat itu sawit bukan hal baru lagi. Ternyata semua tampak mudah dan seakan ditunjukkan jalan ketika program IGA dari PT. Gunung Sejahtera Puti Pesona (GSPP) menggandengnya.
Selain belum mengenal betul tentang program tersebut, kekhawatiran akan tertipu oleh perusahaan yang akan mengambil paksa lahan rakyat dengan dalih program pemberdayaan sempat menggelayut di benak. Akibatnya, ia nyaris terpengaruh oleh teman-temannya yang justru menjual lahan mereka agar mendapatkan uang secara cepat.
“Saya ada lima hektare, awalnya bimbang sekaligus takut. Sempat hampir saya jual,” kenang Aini.
Namun dengan niat tulus dan berserah diri, akhirnya dia dan 27 orang lainnya memutuskan ikut dengan membentuk kelompok tani Berkah Tani Mandiri.
Kala itu di awal tahun 2008 alat berat diturunkan untuk membuka lahan, semua kebutuhan calon petani diberikan secara lengkap. Mulai dari bibit sawit, pupuk, peralatan pertanian. Tak ketinggalan pula pelatihan dan bimbingan mengelola kebun sawit yang baik dan benar serta ramah lingkungan rutin dilakukan hingga sekarang.
“Lahan tetap milik saya dan kita hanya terikat kerja sama jual beli buah dan pengembalian biaya pembukaan lahan serta perawatan tanaman sampai berbuah,” katanya.
Tiga tahun berselang, sawit mulai berbuah. Masih terpatri dengan jelas di ingatannya, panen pertama yang didapat kala itu hanya 140 kilogram.
“Panen pertama hanya 1,4 kuintal itu tahun 2011. Saya antar sendiri ke perusahaan. Kini hasil panen rata-rata bisa 8 ton per bulan dan harga sawit saat ini juga cukup lumayan. Alhamdulillah ekonomi keluarga besar saya semakin mapan. Tanggungan ke perusahaan sudah lunas dan guncangan ekonomi akibat pandemi ini bisa kami atasi,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan Muhammad Husni (60), pemilik lahan IGA seluas 18 hektare ini juga merasakan dampak luar biasa setelah bergabung dalam program tersebut. “Awal tahun 2008 saya hanya punya lima hektare, namun dari hasil itu saya bisa membeli lahan lagi dan mengikutkannya di program IGA dan kini mampu memiliki lahan yang cukup untuk bekal menikmati hari tua,” katanya, Sabtu (25/12).
Kakek berkumis tipis ini menceritakan bahwa segala kemudahan diberikan kepada peserta IGA yang mekanismenya sangat berbeda dengan program pemberdayaan lainnya. Selain tanpa bunga, setoran pengembalian modal usaha yang telah dikucurkan juga bisa diatur atas kerelaan dan juga kemampuan para petani.
“Diawal memang dipatok 30 persen, namun karena di kelompok kami semuanya beres dan lancar, dalam perjalanannya diberikan kemudahan untuk angsurannya. Kalau memang sedang butuh uang boleh dirapel untuk mengangsurnya, kalau memang ingin segera lunas juga boleh langsung diserahkan semua hasil penjualannya,” katanya.
Saat ini, lanjut Ketua Kelompok Tani Bina Bersama itu, dari 37 anggota dengan luasan lahan mencapai 82 hektare yang mampu menampung 11.133 pokok pohon sawit mampu menghasilkan panen 1.597 ton hingga akhir November lalu. “Sekarang ini harga sawit kan di atas Rp 3000 per kilogram, kalau di rata-rata dengan harga Rp 2500 per kilogram berarti ada perputaran uang sekitar Rp 3,99 miliar yang mampu menggerakkan ekonomi masyarakat di masa pandemi ini,” terangnya.
“Itu hanya dari kelompok kami saja, belum kelompok IGA yang lain,” tambahnya.
Community Development Officer (CDO) PT Gunung Sejahtera Puti Pesona (GSPP), Kusartono mengatakan, program IGA adalah pola pelaksanaan pembangunan perkebunan rakyat dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan masyarakat di sekitarnya melalui sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh, dan berkesinambungan. Melalui program IGA Perusahaan memberi bantuan berupa penyuluhan dan bimbingan teknis serta pinjaman berupa; bibit kelapa sawit; sarana produksi pertanian; modal kerja.
“Biaya produksi untuk program ini bervariasi sesuai dengan tahun pembukaannya yakni sebesar Rp 7,2 juta per hektare di tahun 2003–2009. Rp 14 juta per hektare di tahun 2009-2013,” ungkapnya.
Pada program kebun IGA tersebut, masyarakat berpartisipasi aktif sebagai pelaksana pembangunan kebun miliknya sendiri hingga menghasilkan dan melunasi seluruh pinjamannya kepada perusahaan. Ketika pinjaman lunas, petani tidak dilepas begitu saja. Mereka tetap mendapatkan pendampingan dan disokong Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Pesona Mitra Makmur Lestari dalam mencukupi kebutuhan kebun. Di antaranya, kebutuhan pupuk, obat-obatan, dan peralatan pertanian.
Program IGA ini mulai dijalankan di Kalteng tahun 2003 oleh PT Gunung Sejahtera Ibu Pertiwi. Sedangkan PT. Gunung Sejahtera Puti Pesona (GSPP) baru menjalankan IGA di tahun 2008. Kini, GSPP memiliki 220 mitra petani dengan luas lahan 443 hektare. Jumlah itu terbagi menjadi beberapa kelompok tani yang tersebar di delapan desa yang berdekatan dengan perusahaan.
“Di tahun 2021 ini, data hingga November kebun sawit IGA di PT.GSPP mampu menghasilkan total panen sekitar 4.894 ton. Dengan harga sawit yang saat ini cukup tinggi di harga stabil Rp 3000 per kilogram maka ada sekitar Rp 14,6 miliar yang berputar di masyarakat. Inilah yang menjadi salah satu penggerak pemulihan ekonomi selama pandemi ini,” ungkapnya.
Sementara itu data yang diperoleh media ini total luasan kebun sawit hasil program IGA yang tersebar di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Lamandau (area Kalteng) tahun 2015 mencapai 5.473 hektare, dengan jumlah peserta 2.116 petani. Lahan itu tersebar di 22 desa. Estimasi panen mencapai 350 ton per hari atau 8.750 ton sawit per bulan (25 hari kerja) dari lahan seluas 5.473 hektare itu.
“Kita hitung dengan harga normal saat ini Rp 3000 per kilogram. Maka total pemasukan para petani mencapai Rp 26,2 miliar per bulan. Dan itu berpotensi lebih besar bila harga naik sesuai dengan kebutuhan pasar,” katanya.
Selain program IGA sawit, perusahaan juga menerima kerjasama atau kemitraan dengan sejumlah desa. Salah satunya Desa Arga Mulya, Kecamatan Pangkalan Banteng, Kabupaten Kotawaringin Barat. Melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), jaminan harga tinggi untuk buah hasil perkebunan mandiri para petani menjadi salah satu keuntungannya.
Para petani bisa terlepas dari tengkulak, karena BUMDes dan perusahaan telah bekerjasama dalam hal pembelian replas setoran buah sawit masyarakat. “PT.GSPP ternyata menerima pengajuan kerjasama dengan BUMDes Arga Mulya. Ini menjadi salah satu penyelamat petani agar terlepas dari ketergantungan pada tengkulak,” kata Kepala Desa Arga Mulya, Reno Krisdianto, Senin (27/12)
Selain jaminan harga yang lebih pasti, ukuran timbangan perusahaan diyakini lebih valid karena rutin dilakukan pemeriksaan (tera/tera ulang) oleh pihak terkait. Tak hanya itu, BUMDes juga hanya mengambil Rp 25 per kilogram dari setiap penjualan sawit petani ke perusahaan.

Reno menerangkan bahwa dari 325 kepala keluarga yang memiliki kebun sawit, sekitar 90 persennya memilih ikut BUMDes dan menyetor buah mereka ke PT.GSPP. Selanjutnya, hubungan jual beli itu tak hanya sekedar setor buah, ditimbang, mengambil replas sawit, namun berlanjut pada pembinaan. Terutama terkait kualitas buah dan juga pola perawatan tanaman kelapa sawit agar mampu menghasilkan panen berkualitas sesuai standar perusahaann.
“BUMDes hanya mengambil sedikit, atau bahkan sangat sedikit bila dibandingkan dengan tengkulak. Karena memang kerjasama kami (BUMDes) dengan perusahaan lebih mengutamakan pemberdayaan petani sawitnya,” ungkap Ketua Asosiasi Kepala Desa ini.
Reno juga menegaskan bahwa kerjasama ini sebenarnya sudah lama direncanakan, namun baru bisa terlaksana pada awal tahun 2020 lalu, kemudian disusul dengan pandemi Covid-19 yang menyebabkan ekonomi sempat memburuk. Seiring berjalannya waktu, ternyata langkah yang diambil mampu menyelamatkan kelangsungan hidup warganya.
“Ini berjalan sejak awal pandemi, di tahun pertama (2020) kita dapat Rp 3 miliar, dan untuk tahun ini (2021) per November kita sudah dapat Rp 4,5 miliar. Ini uang yang masuk ke BUMDes saja, sedangkan berapa miliar yang berputar di tangan-tangan warga saya, yang jelas lebih besar lagi. Banyak asap dapur yang kembali mengepul,” ucapnya seraya bersyukur.
Upaya penyelamatan untuk mengembalikan senyum warga yang sebagian besar merupakan para petani juga dilakukan melalui program pertanian tanaman pangan (hortikultura) untuk kelompok rumah tangga. Pertanian hortikultura tidak harus dilakukan di lahan pertanian secara luas, namun hal itu bisa dilakukan dengan memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga dan dapat bernilai ekonomis.
Pemberdayaan pertanian hortikultura dengan nama Program Peningkatan Kapasitas Perkarangan Rumah (PKPR) tersebut kini menjadi salah satu fokus pembinaan untuk para petani di Kelurahan Pangkut.
Asisten CSR PT.SINP-PBNA Imam Taufiq mengatakan bahwa Program Peningkatan Kapasitas Perkarangan Rumah (PKPR) tersebut memberikan dukungan penuh pada pasokan benih sayuran dan peralatan pertanian yang telah disalurkan pada para penerimanya. “Pendampingan pemberdayaan masyarakat ini juga akan berlangsung saat proses berjalan mulai dari penyemaian benih, penanaman, perawatan, dan pemanenan,” katanya.
Menurutnya meski budidaya sayuran di pekarangan bukan merupakan hal baru di Kelurahan Pangkut. Namun demikian, seiring berjalannya waktu kebiasaan baik tersebut semakin ditinggalkan. Dan tak jarang saat ini banyak pekarangan rumah warga yang mulai tidak dimanfaatkan, dibiarkan terlantar dan gersang. “Oleh karena itu kita hadir untuk membantu pemanfaatannya guna meningkatkan kecukupan pangan dan juga penghasilan masyarakat,” lanjutnya.
Tak hanya di Kabupaten Kotawaringin Barat, pemberdayaan petani di segala lini juga merambah kawasan desa di wilayah PT Nirmala Agro Lestari (NAL) di Kabupaten Lamandau.
Administratur PT.NAL, Miin Ahadi mengungkapkan bahwa anak usaha Astra Agro Lestari ini sangat bersyukur masih diberikan kesempatan untuk berkontribusi kepada masyarakat desa di lingkar PT.NAL yakni membantu ekonomi masyarakat desa.
Semangat ini diilhami oleh Catur Darma Astra yang menjadi pedoman dan filosofi seluruh perusahaan Astra Grup yang disalurkan melalui program Coorporate Responsibility (CSR) yakni Astra Agro Kreatif yang berkaitan dengan pembinaan usaha dan UMKM. “Salah satu program yang sudah disalurkan hari ini adalah Astra Agro Kreatif berupa bantuan bibit ikan nila dan patin. Program ini akan bergulir secara berkesinambungan.

Dari diktum MoU yang ditandatangani bersama antara Asisten CSR dan Kelompok Tani Teratai disepakati bahwa bantuan ini akan bergulir dan diperluas dengan membentuk kelompok usaha yang baru dari keuntungan usaha 10persen,” ungkapnya.
Abiddin, Asisten CSR PT.NAL menambahkan bahwa perusahaan berperan membantu dan memfasilitasi kelompok usaha baik dari sistem pembukuan dan pengelolaan manajemen usaha dari proses pembibitan sampai pada proses panen dengan pendampingan yang berkesinambungan agar maju dan berkembang.
Menurutnya, modal yang sudah diberikan kepada kelompok tani akan dikelola sepenuhnya oleh kelompok tani tersebut sedangkan pihak PT.NAL tidak mengambil keutungan ataupun pengembalian modal kepada perusahaan. Sehingga kelompok tani yang sudah terbentuk mampu menyejahterakan anggotanya dan warga sekitar,” katanya.
Community Development Area Manager (CDAM) Kalimantan Tengah, Triyanto menambahkan bahwa keberadaan perusahaan yang mampu memberikan manfaat bagi perkembangan ekonomi masyarakat sekitar merupakan salah satu cita-cita dari Astra Agro.
“Untuk mewujudkan cita-cita ini, kami menerapkan program IGA (Income Generating Activity) baik berbasis sawit maupun non sawit. Pendampingan oleh perusahaan mencakup 150 Desa yang tersebar pada 27 Kabupaten di 8 provinsi di Indonesia,” katanya.
Program dan sektor usaha berbasis non sawit yang telah dikembangkan di antaranya adalah budidaya ikan, pengolahan ikan asap, ekowisata gajah, peternakan ayam, hingga konsep wirausaha yang terintegrasi dengan Masyarakat Peduli Api. Pendampingan yang dilakukan perusahaan sejalan dengan semangat pemerintah guna mewujudkan Desa Sejahtera.
Dengan berbagai program pemberdayaan yang telah terjalani, Astra Agro Lestari menjadi salah satu industri kelapa sawit di Kalimantan Tengah yang mengajarkan bahwa pandemi tidak untuk ditangisi, dia datang bukan untuk mematahkan hati, tapi jadi cambuk untuk bangkit dan menjadi lebih baik lagi. (*)