Di usia yang tidak lagi muda, Mbah Kuati masih tetap berjualan Cenil dan Getuk. Hasilnya tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup. Alasan lain tetap berjualan cenil karena untuk mengobati warga yang kangen jajanan pasar.
RINDUWAN, Pangkalan Bun
Terik mentari kian menyengat, namun semangat Mbah Kuati untuk tetap berjualan tidak pudar. Nenek ini masih menunggu calon pembeli menghampiri lapaknya di komplek Makam Sekip, Kelurahan Sidorejo, Kota Pangkalan Bun.
Dua wadah dari anyaman bambu untuk tempat cenil dan getuk tertutup rapi untuk menghindari serbuan lalat dan serangga, hingga debu jalanan. Senyum selalu mengembang saat disusul sapa ramah saat pembeli datang. “Tumbas pinten tum (beli berapa bungkus),” tanya Mbah Kuati. “Sebungkusnya cuma lima ribu rupiah saja, murah meriah mas,” lanjutnya.
Usai pembeli menyebutkan jumlah cenil yang diinginkan. Dengan terampil, tangan Mbah Kuati langsung menyiapkan semuanya termasuk menyiapkan daun pisang sebagai pembungkusnya. Ia mengambil dua lembar daun pisang, memotong sejumlah bahan campuran cenil. Terdiri dari ketan putih, ketan hitam, getuk, lupis, gendar, cenil, dan bongkok.
Terakhir ditaburi kelapa parut dan disiram gula merah cair. Selanjutnya daun pisang di tutup dan dieratkan menggunakan lidi. “Biasanya kalau di tempat lain, campuran cenil tidak ada yang gunakan bongkok. Kalau ditempat saya ada. Ini bedanya cenil khas Jawa Timur khususnya dari tempat saya Lamongan,” terangnya.
Menurutnya banyak orang Pangkalan Bun yang masih mencari jajanan pasar ini. Bahkan di pasar juga sudah jarang dijumpai cenil dan getuk. “Memang tidak lagi jualan di pasar. Jadi ya pindah-pindah jualannya,” ujar perempuan yang usianya telah lewat setengah abad ini.
Mbah Kuati berjualan terkadang di komplek makam Sekip dan di hari tertentu di depan Pangkalan Bun Park. Nenek empat cucu ini, dalam sehari bisa mendapatkan hasil hingga Rp 500 hingga Rp 700 ribu. Bahkan jika habis bisa menghasilkan sampai Rp 1 jutaan. “Kalau dulu sering habis bisa sampai Rp 1 jutaan. Sekarang jarang, dapat Rp 500 ribu sudah bersyukur,” ujarnya.
Saat ditanya telah berapa lama berjualan, Mbah Kuati menghitungnya.Berjualan cenil ini sudah puluhan tahun, sejak pertama pindah dari Lamongan ke Pangkalan Bun yakni pada tahun 1984. “Jadi sudah 38 tahun, tapi Alhamdulillah sampai sekarang masih banyak yang suka,” katanya.
Mbah Kuati juga menceritakan masa sulitnya dulu yang baru pertama kali merantau. Ia bersama keluarga saat itu tidak punya keahlian khusus. Satu-satunya keahlian hanya jualan cenil seperti yang dilakukan di Lamongan. Ia juga ketakutan apakah jualannya akan laku atau tidak. “Namun saat jualan justru diterima baik. Karena disini banyak orang Jawa dan sampai sekarang terus bertambah orang Jawa di Pangkalan Bun,” terangnya.
Bergantinya tahun tak membuat peminat cenil berkurang, hasil dagangannya mampu mencukupi kebutuhan hidup dan sekolah anak-anaknya. Sekarang semua keturunannya telah berkeluarga, namun dirinya tetap setia berjualan cenil.
“Sebenarnya bukan cuma untuk mencari penghasilan saja. Tapi saya jualan ini untuk mengobati orang jawa yang suka jajanan pasar selama di perantauan bahkan ada yang sudah pindah sekalipun,” bebernya.
Karena lamanya berjualan cenil, banyak yang memanggil Kuati dengan sebutan Ibu Cenil dan sampai sekarang menjadi Mbah Cenil. Hal itu yang membuatnya semangat berjualan dan mempertahankan rasa.
“Saya sampai tertawa saat orang-orang menyebut saya Mbah Cenil. Padahal nama saya Kuati dan banyak yang tidak tahu. Tapi syukur Alhamdulillah masih banyak orang yang beli cenil saya, bukan karena kasihan tapi karena rasa cenil yang tidak berubah,” pungkasnya sambil senyum. (*/sla)