Belum banyak yang tahu, apa dan di mana Sekolah Adat Basangiang itu. Termasuk bagaimana belajar mengajarnya dan apa saja yang diajarkan di sekolah tersebut. Berikut ulasannya.
SYAMSUDIN DANURI, Pangkalan Bun
Era digital dan pesatnya perkembangan zaman membuat gundah Martin Kungkung dan kawan-kawan Komunitas Dayak Tomun serta Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PD AMAN) Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Mereka takut akan punahnya tradisi dan adat istiadat suku Dayak khususnya Dayak Tomun di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) dan umumnya di Kalimantan Tengah. Berangkat dari rasa itu, Martin, pria asli Suku Dayak yang tinggal di Kelurahan Baru ini mencoba mempertahankan eksistensi adat istiadat dengan berinisiatif membangun sekolah adat bernama Sekolah Adat Basangiang.
Sekolah adat ini dibangun sekitar satu tahun lalu dan berlokasi di Kelurahan Baru, RT 33 Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kobar tepat di pinggir Jalan Trans Kalimantan Pangkalan Bun – Sampit. Meski terseok dari segi pendanaan, namun dengan niat tulus dan tekad kuat, sekolah itu akhirnya berdiri.
Tampak masih sederhana, tapi misi yang diembannya tak bisa dianggap remeh. Perlu keteguhan hati bagi Martin untuk tetap menjaga agar mampu bertumbuh dengan segala keterbatasan yang ada.
Pantang menyerah, bahkan ia korbankan dana pribadi demi mewujudkan cita-cita luhur tersebut. Biaya yang sudah dikeluarkan tidak sedikit, mencapai ratusan juta untuk membangun sekolah dan workshop kerajinan (souvenir) ciri khas Kalimantan miliknya itu.
“Semua masih menggunakan dana pribadi, juga dukungan kawan-kawan lainnya. Termasuk Dukungan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kobar,” tutur Martin saat disambangi di kediamannya, Senin (31/1).
Dalam kurun waktu kurang dari setahun ini proses belajar mengajar telah berlangsung, sedikitnya ada sekitar 40 murid yang terdiri dari anak-anak hingga dewasa. “Pertemuannya masih belum menentu, tetapi dalam satu Minggu pasti ada belajar tatap muka,” tutur Martin.
Materi atau kurikulum belajar mengajar juga disiapkan yang meliputi, Purih Bansa yaitu pelajaran tata krama atau sopan santun, ini diperuntukkan bagi anak-anak supaya mengerti dan paham akan tata krama. Kemudian pelajaran Adat Budaya atau kebiasaan/tradisi masyarakat Dayak Tomun. Selanjutnya pelajaran Bigal Manari atau pelajaran seni, Ubat Tatamba atau pelajaran ilmu pengobatan.
Tidak hanya itu banyak pelajaran lainnya seperti Hukum Adat, pelajaran ini khusus untuk yang dewasa.
“Kurikulum ini kita gali dari sumber asli tetua-tetua yang mengerti betul adat budaya Dayak Tomun sehingga keasliannya bisa dipertanggung jawabkan dan tidak dibuat-buat,” jelasnya.
Dari sekian pelajaran itu masih ada lagi, seperti Kerajinan, pelajaran tentang permainan rakyat dan lain sebagainya. Ia bersama tim yang ada bertekad ingin memajukan sekolah adat tersebut agar bisa menjadi pondasi untuk mempertahankan eksistensi adat budaya masyarakat Dayak sehingga tidak dilupakan generasi ditengah perkembangan zaman yang terus melaju kencang.
Meski telah berjalan, Martin menyebut bahwa semuanya bukan berarti tanpa kendala, kerap kali ketika ingin menjalankan program atau kegiatan, pendanaan menjadi pokok persoalan. Diakui Martin, pihaknya belum pernah mengajukan bantuan kepada pemerintah secara tertulis, tetapi secara komunikasi sudah pernah dilakukan meski belum ada respon.
“Kami tidak menutup diri, jika memang ada yang ingin ikut berpartisipasi tentu kami terima, harapan kami juga ada peran pemerintah sehingga sekolah adat ini bisa lebih berkembang. Dalam kondisi apapun kami tetap jaga komitmen mewujudkan cita-cita yang luhur ini,” tuturnya.
Disinggung soal siapa saja yang boleh ikut sekolah tersebut, ternyata tidak hanya khusus masyarakat suku Dayak tetapi warga suku lain juga boleh ikut belajar. “Ada juga kok yang dari suku Jawa ikut belajar, sebagai pengetahuan, kita persilakan karena kami tidak menutup diri justru ingin menunjukkan bahwa masyarakat Dayak itu bisa hidup berdampingan dengan suku manapun,” bebernya.
Sedangkan guru yang mengajar juga diambil dari komunitas adat Dayak Tomun yang mengerti tentang mata pelajaran yang diajarkan. “Proses belajar mengajar ini gratis karena berangkat dari keikhlasan hati dengan niat ingin mempertahankan serta melestarikan adat budaya masyarakat Dayak Tomun di Pangkalan Bun Kabupaten Kobar,” jelasnya.
Selain aktif di sekolah adat, dalam kesehariannya Martin Kungkung lebih banyak di workshop pembuatan kerajinan souvenir khas Kalimantan. Kegiatan itu juga masih ada kaitannya dengan sekolah adat dan juga sebagai upaya mengenalkan souvenir-souvenir ciri khas Dayak ke khalayak umum.
Minimnya publikasi dan sosialisasi mengakibatkan kurang dikenalnya sekolah adat tersebut. Namun hal itu tak menjadi alasan untuk terus berkiprah dalam mempertahankan nilai-nilai adat budaya leluhurnya. (*/sla)